Senin, 20 Mei 2013

AMENOREA

TUGAS ENDOKRINOLOGI
AMENOREA
OLEH :
QUR’AINI YANTI    115130100111002
ABEDNEGO P.A         115130100111022
ADI NALURIKA         115130101111011
NOVYA MAYOSIE A.     115130101111019
ACHMAD NURENDY     115130107111007
RIYADLOTUS SHOLIHAH 115130113111002







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
M A L A N G
2012


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN
Secara berkala, fungsi seksual betina berada di bawah kendali hormon. Hal inilah yang membuat kami mengambil judul ini untuk memenuhi tugas endokrinologi. Secara umum, tanda yang khas untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap siklus birahi. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium. Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Amenorea fisiologik
Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi dan sesudah menopause.
2. Amenorea patologik
Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas belum pernah dapat haid; sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi.

Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum.
Penulisan referat ini adalah bertujuan untuk memperoleh alur pemikiran dalam menghadapi kasus-kasus amenorea primer, sehingga bisa diambil tindakan secara tepat dan efisien.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FISIOLOGI MENSTRUASI
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1,2,4
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat, yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus, dan pusat siklik di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar.4
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.1,2,4
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen
dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.1,2,4
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah ovulasi.4
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10–12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.4
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas.
Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9–10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.4
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.

2.2 EVALUASI AMENOREA
Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan yang bermacam-macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas kesehatan mampu melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenis-jenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga yang dapat ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana.
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.4
Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah penderita pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-ciri kelamin
sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua ini penting untuk pembuatan diagnosis.
Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor, ovarium dan sebagainya.
Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak kasus amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi gambaran yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan.
Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih informasi yang diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu tersebut, dijabarkan dari latar belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya seperti tiroid dan adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan rangkanya lengkap. Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali terjadi bias, meskipun kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan investigasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1
Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari pengukuran hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes provokasi progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan riwayat menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika.1
Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid yang tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan pemeriksaan kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan hasil yang kurang berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.1
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan hipertrofi atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor dapat dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan
hipotiroid primer dan hiperprolaktinemia dapat muncul dengan amenorea primer maupun amenorea sekunder.1
Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen endogen dan kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang dilakukan oleh Davajan dkk adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron dalam larutan minyak atau medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral selama tiga hari. Respon pemberian progesteron dinilai 2–14 hari setelah pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH serum. Speroff melakukan uji progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian progesteron secara parenteral dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.1
Dalam 2–7 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan terjadi perdarahan. Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada dalam batas normal dan adanya uterus yang endometriumnya reaktif terhadap estrogen endogen. Dari hasil tersebut dapat ditetapkan adanya estrogen, fungsi yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem syaraf pusat. Dengan tidak adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan kadar TSH yang normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.1
Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif walaupun terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi, endometrium mengalami reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi pelepasan mengikuti penghentian secara tiba-tiba dari pemberian progesteron eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi desidua dari endometrium sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada keadaan kedua merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami reaksi desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan kekurangan enzim adrenal spesifik.1
Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang dari 20 pg/ml), evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika prolaktin meningkat, evaluasi dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam kerangka ini, pernyataan berikut dapat dijadikan petunjuk praktis klinik: pendarahan positif membutuhkan pengobatan progesteron, dan tanpa adanya galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat dijadikan petunjuk bahwa kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.1
Kenaikan sekresi prolaktin menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis. Untuk menjadi pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan sekresi ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma sel-sel renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan hiperprolaktinemia serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding kista dermoid ovarium.1
B. Langkah 2
Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti pada langkah di atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau perkembangan estrogen dari endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk membuat klarifikasi terhadap situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah progesteron yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama 5 hari terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.1,3
Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita dengan amenorea tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi, diagnosis dari kerusakan pada kompartemen I (endometrium, aliran pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan terjadi, bisa diasumsikan bahwa kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional yang normal jika mendapat rangsangan esterogen.1
Dari sudut pandang praktis, pada pasien dengan alat genitalia interna dan eksterna yang normal dapat ditetapkan dengan pengujian pada panggul, dan tanpa adanya latar belakang infeksi atau trauma (seperti kuretase), serta tidak didapatkannya ketidaknormalan dari aliran pengeluaran yang tidak sewajarnya. Masalah aliran pengeluaran termasuk kerusakan endometrium, secara umum sebagai akibat dari kuretase yang berlebihan atau akibat dari infeksi, atau akibat amenorea primer dari diskontinuitas atau abnormalitas pada duktus Mulleri.1
C. Langkah 3
Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai. Untuk memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon hipofisis yang cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas folikel) berfungsi secara wajar atau tidak.1
Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada pasien. Karena langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3, pengujian gonadotropin.1
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen menyebabkan kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf pusat-hipofisis (kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita amenorea yang tidak mengalami pendarahan setelah pemberian pemicu progestagen akan menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah, atau pada kadar yang normal.1
Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem yang memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal tergantung. Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah penyebab amenorea dalam 4 kompartemen, yaitu:
- Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
- Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
- Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
- Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).







BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
    Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
    Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.

3.2 DAFTAR PUSTAKA

Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Kelompok studi endokrinologi reproduksi Indonesia bekerjasama dengan Media Aesculapius, 1993: 61-70
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223
Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of mullerian remnants in a woman with congenital absence of the vagina. Fertil Steril 1992, 57: 218-220
Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic studies in a patient with resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42: 741-744

Tidak ada komentar:

Posting Komentar